Tuesday, October 7, 2025

Aturan dan Etika: Pilar Keteraturan dan Keberadaban Sosial

Syaiful Rahman_Fas. Bela Negara

Dalam setiap tatanan kehidupan, baik individu, organisasi, maupun masyarakat, keberadaan aturan dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Aturan berfungsi sebagai pedoman perilaku yang bersifat normatif dan mengikat, sementara etika menjadi panduan moral yang menuntun seseorang dalam berinteraksi secara bijaksana dan beradab. Keduanya membentuk pondasi keteraturan sosial dan mencerminkan kualitas peradaban manusia.

Di tengah era disrupsi dan perubahan cepat seperti sekarang, memahami dan menegakkan aturan serta etika menjadi semakin urgen. Kemajuan teknologi, kebebasan berekspresi, dan dinamika sosial tanpa kendali sering kali menimbulkan kekacauan nilai dan degradasi moral. Oleh karena itu, belajar disiplin diri dalam menaati aturan dan memegang etika bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan fundamental bagi terciptanya harmoni sosial.

Aturan Sebagai Penjaga Keteraturan Sistem

Aturan dapat diartikan sebagai seperangkat ketentuan yang dibuat untuk mengatur perilaku individu atau kelompok dalam suatu sistem. Dalam perspektif sosiologi, aturan (rules) berfungsi menjaga stabilitas dan keteraturan sosial (social order).

Emile Durkheim (1893) dalam karyanya The Division of Labour in Society menegaskan bahwa tanpa aturan, masyarakat akan jatuh dalam kondisi anomie — keadaan tanpa norma yang menimbulkan kekacauan nilai dan perilaku. Aturan menjadi “lem perekat sosial” yang menjamin keteraturan dan kerja sama antarmanusia dalam masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, aturan berperan sebagai pedoman perilaku yang mendukung proses belajar mengajar berjalan tertib dan produktif. Tata tertib sekolah, misalnya, mengatur waktu, tanggung jawab, serta perilaku siswa dan guru agar setiap individu memiliki batasan yang jelas antara kebebasan dan tanggung jawab.

Namun, keberadaan aturan tidak akan efektif tanpa adanya kesadaran etis. Aturan hanya memberi batasan eksternal, sedangkan etika menyentuh kesadaran batin dan nilai moral yang bersifat internal.

Etika Sebagai Rambu Interaksi Sosial

Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti kebiasaan, watak, atau cara hidup. Dalam filsafat, etika dipahami sebagai cabang ilmu yang mempelajari nilai-nilai moral yang mengatur perilaku manusia (Bertens, 2013). Bila aturan menuntun apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, maka etika mengajarkan bagaimana sesuatu dilakukan dengan tanggung jawab dan kebaikan.

Etika menjadi rambu dalam berinteraksi sosial agar kehidupan bersama berjalan harmonis. Tanpa etika, kepatuhan terhadap aturan bisa kehilangan makna. Misalnya, seseorang bisa menaati peraturan secara formal, tetapi jika tidak beretika—tidak menghargai orang lain, tidak jujur, atau tidak sopan—maka tetap melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks profesi, misalnya guru, etika menjadi pedoman moral dan profesionalisme. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, salah satu kompetensi utama guru adalah kompetensi kepribadian dan sosial, yang mencerminkan kemampuan beretika, berakhlak mulia, dan menjadi teladan. Etika memperkuat kepercayaan publik terhadap profesi pendidik sebagai agen moral bangsa.

Disiplin Diri: Jembatan antara Aturan dan Etika

Disiplin diri adalah kemampuan untuk mengendalikan perilaku sesuai dengan nilai, aturan, dan norma yang berlaku. Albert Bandura (1991) dalam teori self-regulation menyebutkan bahwa disiplin diri mencerminkan kemampuan individu untuk menilai tindakan, mengatur emosi, serta bertindak berdasarkan standar moral pribadi.

Seseorang yang disiplin tidak hanya menaati aturan karena takut sanksi, melainkan karena kesadaran moral. Inilah yang menjadi jembatan antara aturan dan etika. Aturan membatasi perilaku dari luar (external control), sedangkan etika dan disiplin diri membentuk kendali dari dalam (internal control).

Contohnya, seseorang menaati peraturan lalu lintas bukan karena takut ditilang, melainkan karena sadar bahwa ketertiban jalan raya melindungi keselamatan bersama. Guru datang tepat waktu bukan karena diawasi kepala sekolah, tetapi karena tanggung jawab profesional dan moral terhadap peserta didik.

Disiplin diri adalah indikator kedewasaan moral — menjadi bukti bahwa aturan dan etika telah diinternalisasi dalam kesadaran individu.

Kajian Ilmiah dan Relevansinya di Era Kini

Kajian psikologi moral menegaskan pentingnya keseimbangan antara aturan eksternal (hukum dan norma sosial) dan aturan internal (moral dan etika pribadi). Lawrence Kohlberg (1981) dalam The Philosophy of Moral Development mengemukakan bahwa individu yang mencapai tahap perkembangan moral tertinggi bertindak berdasarkan prinsip universal keadilan, bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan.

Sementara itu, menurut Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, pendidikan karakter yang baik selalu menanamkan tiga dimensi penting: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral action (tindakan moral). Ketiganya hanya dapat tumbuh jika individu memahami makna aturan, memiliki kesadaran etika, dan berlatih disiplin diri.

Dalam konteks pendidikan nasional, Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti juga menegaskan pentingnya pembiasaan nilai-nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat sebagai wujud nyata penerapan aturan dan etika dalam kehidupan sekolah.

Dengan demikian, penerapan aturan tanpa pembinaan etika hanya akan melahirkan ketaatan semu, sedangkan etika tanpa aturan dapat berujung pada relativisme moral. Keduanya harus berjalan seimbang dalam membentuk manusia berkarakter.

Aturan dan etika adalah dua pilar utama dalam membangun keteraturan dan keberadaban sosial. Aturan menjaga sistem agar tertib, sedangkan etika menjaga moralitas agar manusia tetap beradab. Disiplin diri menjadi jembatan penghubung keduanya, karena hanya melalui kesadaran pribadi seseorang dapat benar-benar menaati aturan dengan keikhlasan dan tanggung jawab.

Di tengah derasnya arus perubahan dan kebebasan di era digital, manusia tidak cukup hanya cerdas intelektual, tetapi juga harus matang secara moral. Menegakkan aturan dengan beretika adalah tanda kematangan berfikir dan karakter yang beradab.

Maka, marilah kita mulai dari diri sendiri — belajar disiplin diri, memahami aturan, dan menegakkan etika dalam setiap langkah kehidupan. Dengan begitu, kita bukan hanya menjadi warga negara yang taat, tetapi juga manusia yang berkarakter dan bermartabat.

Daftar Pustaka

No comments:

Post a Comment

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...