Thursday, October 2, 2025

Bela Negara: Realitas atau Sekadar Seremoni?

Perubahan zaman yang semakin cepat, dipacu oleh derasnya arus globalisasi, teknologi digital, dan banjir informasi, telah melahirkan generasi yang hidup dalam dunia serba instan. Di satu sisi, kemajuan ini membuka jalan bagi lahirnya peluang besar, baik dalam ranah pendidikan, ekonomi, maupun kebudayaan. Namun, di sisi lain, kondisi tersebut juga menghadirkan konsekuensi serius berupa menurunnya kesadaran kebangsaan, pudarnya semangat nasionalisme, serta melemahnya karakter bela negara. Fenomena ini tampak nyata di kalangan generasi muda yang sering kali lebih akrab dengan budaya populer global ketimbang nilai luhur bangsanya sendiri. Dalam situasi inilah, kesadaran Bela Negara tidak dapat lagi dipandang sekadar jargon yang diucapkan saat upacara bendera, melainkan harus menjadi ruh yang diinternalisasi secara mendalam di lingkungan pendidikan, mulai dari pejabat birokrasi hingga seluruh warga sekolah.

Bela Negara pada hakikatnya bukan hanya sebuah kewajiban yang tertulis dalam konstitusi, melainkan kebutuhan mutlak agar bangsa ini tetap berdiri tegak di tengah persaingan global yang kian keras. Tanpa adanya kesadaran ini, generasi muda akan mudah terombang-ambing oleh ideologi asing, berita bohong, hingga perilaku pragmatis yang mengikis semangat kebersamaan. Sekolah, sebagai ruang strategis pembentukan karakter, memegang peranan penting untuk menjadikan kesadaran tersebut nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam sekolah, disiplin, rasa tanggung jawab, dan solidaritas dapat ditumbuhkan sehingga peserta didik tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh sebagai warga negara.
Kesadaran Bela Negara di sekolah tidak bisa dilepaskan dari peran para pemimpin birokrasi pendidikan. Pejabat pendidikan, baik di tingkat dinas maupun kepala sekolah, seharusnya tidak hanya menjadi pengelola kebijakan, tetapi juga teladan nyata yang menunjukkan integritas, disiplin, dan tanggung jawab. Tanpa keteladanan dari mereka yang berada di puncak birokrasi, wacana Bela Negara akan berhenti pada dokumen dan pidato, tanpa pernah benar-benar hidup di ruang kelas dan lingkungan sekolah. Teladan yang konsisten akan menumbuhkan kepercayaan serta semangat bagi guru dan siswa untuk menghayati nilai-nilai kebangsaan dalam setiap aktivitasnya.

Di sisi lain, guru menjadi aktor sentral yang menghidupkan nilai Bela Negara di dalam kelas. Guru bukan sekadar pengajar materi akademik, tetapi juga pembentuk karakter dan penjaga api nasionalisme. Melalui interaksi sehari-hari, guru dapat menanamkan cinta tanah air, kepedulian sosial, dan kesadaran menjaga persatuan. Lebih jauh, nilai-nilai ini tidak hanya diajarkan secara formal dalam mata pelajaran tertentu, tetapi juga diwujudkan dalam kegiatan kokurikuler seperti pramuka, upacara bendera, kegiatan sosial, maupun kerja sama antarsiswa. Dari tangan guru inilah lahir generasi yang bukan hanya unggul dalam ilmu, tetapi juga kuat dalam karakter kebangsaan.

Sementara itu, siswa adalah subjek utama sekaligus penentu masa depan bangsa. Kesadaran Bela Negara dalam diri siswa akan menjadi bekal berharga untuk menghadapi era persaingan global yang sarat dengan tantangan. Generasi muda yang memiliki karakter kebangsaan yang kokoh akan mampu menjaga jati diri bangsanya sekaligus berkontribusi secara bermakna di tingkat internasional. Tanpa kesadaran ini, Indonesia berisiko hanya melahirkan generasi yang kehilangan identitas dan sekadar menjadi konsumen budaya dunia.
Lebih dari itu, Bela Negara di sekolah harus hadir sebagai budaya positif, bukan sebatas formalitas. Nilai-nilainya mesti menyatu dalam tindakan sederhana sehari-hari, seperti datang tepat waktu, menjaga kebersihan, menghormati guru, membangun solidaritas, hingga menjunjung tinggi integritas akademik. Budaya positif inilah yang akan membentuk ekosistem pendidikan yang sehat, di mana seluruh warga sekolah bergerak dalam semangat kebangsaan yang sama.

Namun, harus diakui bahwa tantangan dalam menumbuhkan kesadaran Bela Negara saat ini tidaklah ringan. Lunturnya rasa kebersamaan, meningkatnya perilaku intoleran, hingga rendahnya kepedulian sosial adalah fenomena nyata yang kita hadapi. Media sosial yang sarat dengan konten negatif sering kali mempercepat proses degradasi moral tersebut. Jika hal ini dibiarkan tanpa intervensi pendidikan yang serius, generasi muda akan kehilangan pijakan, rapuh menghadapi godaan zaman, dan mudah terpecah oleh arus ideologi yang menyesatkan.

Oleh karena itu, membangun kesadaran Bela Negara di lingkungan pendidikan merupakan tanggung jawab kolektif. Pejabat birokrasi perlu menetapkan arah kebijakan yang berpihak pada penguatan karakter, guru dituntut untuk menjadi penggerak utama yang menginternalisasikan nilai kebangsaan, dan siswa sebagai generasi penerus bangsa harus dibimbing untuk menjadikan Bela Negara sebagai identitas dirinya. Bila hal ini diwujudkan secara konsisten, sekolah akan melahirkan generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga berkarakter kuat, berjiwa nasionalis, dan siap menjaga kedaulatan bangsa.

Dengan demikian, Bela Negara bukan sekadar retorika yang diceramahkan di mimbar atau tulisan yang terpampang di dinding kelas. Jiwa bela negara harus hadir sebagai praktik hidup yang berdenyut dalam keseharian dunia pendidikan. Hanya dengan kesadaran inilah, bangsa Indonesia akan tetap berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat, berkarakter, dan bermartabat di tengah pusaran zaman yang terus berubah.

No comments:

Post a Comment

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...