Tuesday, October 14, 2025

"Talent and Luck" dalam Hidup: Antara Usaha dan Kepasrahan

Dalam setiap kisah kehidupan manusia, dua hal sering menjadi bahan perenungan: talent (bakat) dan luck (keberuntungan). Sebagian orang merasa sukses karena kerja keras dan kemampuan diri, sementara yang lain menyadari bahwa keberuntungan memainkan peran besar dalam perjalanan hidupnya. Namun, di balik dua hal ini tersembunyi satu prinsip bijak yang menuntun keseimbangan: “Tekuni apa yang dapat kita kendalikan, serahkan dan pasrahkan atas apa yang tidak bisa kita kendalikan.”

Talent: Ruang Kendali yang Harus Ditekuni

Talent adalah anugerah bawaan, namun pengelolaannya adalah tanggung jawab pribadi. Kita tidak bisa memilih bakat apa yang diberikan, tetapi kita bisa memilih seberapa dalam kita menekuninya. Inilah wilayah kendali kita—upaya, disiplin, dan proses belajar.

Bakat tanpa ketekunan hanyalah potensi yang tertidur. Sementara kerja keras tanpa arah bisa membuat lelah tanpa hasil. Maka, tekunilah apa yang ada dalam genggaman: belajar, berlatih, memperbaiki diri. Inilah bentuk kesadaran bahwa keberhasilan bukan soal seberapa besar bakat, tetapi seberapa besar kesungguhan untuk mengasahnya.

Luck: Hal di Luar Kendali yang Patut Disyukuri

Sementara luck berada di sisi lain dari kendali kita. Kita tidak bisa mengatur kapan kesempatan datang, atau dalam situasi apa keberuntungan berpihak. Namun, kita bisa membuka diri terhadap kemungkinan. Orang yang berpikir positif, mudah bergaul, dan berani mencoba hal baru, cenderung lebih sering “bertemu” dengan keberuntungan.

Menyadari bahwa keberuntungan tidak selalu bisa dikendalikan mengajarkan kita untuk pasrah dalam pengertian yang aktif—bukan menyerah, tetapi percaya pada proses. Kita menanam dengan sungguh-sungguh, namun tidak memaksa hasil. Kita berikhtiar sepenuh hati, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Keseimbangan Antara Usaha dan Kepasrahan

Hidup menjadi seimbang ketika kita tahu batas antara usaha dan takdir. Kita menekuni bakat sebagai bentuk tanggung jawab, sekaligus berserah terhadap keberuntungan sebagai bentuk keimanan. Dalam titik keseimbangan ini, kita menemukan ketenangan batin: tidak terlalu cemas terhadap hal yang tak bisa kita kendalikan, dan tidak lengah terhadap hal yang masih bisa kita usahakan.

Prinsip ini sejalan dengan ajaran para filsuf Stoa—bahwa kebahagiaan terletak pada kemampuan membedakan apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Kita tidak mengatur arah angin, tetapi kita bisa mengatur layar kapal. Begitu pula dalam hidup: kita tidak bisa menentukan kapan keberuntungan datang, tetapi kita bisa mempersiapkan diri agar siap saat ia menghampiri.

Hidup Sebagai Perpaduan antara Tekad dan Takdir

Kesuksesan sejati bukan hanya hasil dari talent atau luck, tetapi dari harmoni antara keduanya. Talent membuat kita mampu, luck membuat kita berkesempatan. Namun, di atas semua itu, kebijaksanaan membuat kita tenang: menekuni yang bisa kita kerjakan, dan menerima dengan lapang hati apa yang terjadi di luar kuasa kita.

Pada akhirnya, hidup bukan sekadar perlombaan untuk menjadi yang paling berbakat atau paling beruntung, melainkan perjalanan untuk menjadi yang paling sadar—sadar akan peran diri, dan sadar akan peran Tuhan dalam setiap langkah kehidupan.
Karena yang paling indah bukan hanya saat kita berhasil, tetapi saat kita mampu berusaha dengan penuh tekad, dan pasrah dengan penuh keikhlasan.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb

No comments:

Post a Comment

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...