Tuesday, August 12, 2025

Mendidik dalam Hierarki: Mencegah Kekerasan Terselubung di Dunia Pendidikan

Setiap institusi pendidikan, dari sekolah hingga perguruan tinggi, memiliki struktur yang mengatur hubungan antarindividu. Struktur ini biasanya membagi peran berdasarkan tingkat pengalaman, usia, atau tanggung jawab. Hierarki seperti ini berguna untuk menjaga keteraturan, membimbing anggota baru, dan memastikan keberlanjutan tradisi positif. Namun, bila tidak dikelola dengan bijak, hierarki dapat menjadi ladang subur bagi praktik yang merugikan pihak yang berada di posisi lebih rendah.
Paulo Freire (1970) memperingatkan bahwa pendidikan yang menempatkan sebagian pihak sebagai “pemilik kuasa” dan yang lain sebagai “penerima kuasa” berisiko melahirkan penindasan struktural yang berulang. Fenomena ini dapat hadir dalam bentuk kekerasan simbolik sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu (1991)—sebuah kekerasan yang bekerja melalui bahasa, norma, dan kebiasaan, sehingga diterima oleh korban sebagai sesuatu yang wajar.
Di lingkungan pendidikan, kekerasan simbolik dapat muncul dalam bentuk candaan yang merendahkan, beban tugas yang tidak proporsional, atau tradisi yang membuat siswa baru berada dalam posisi tertekan.

Mengapa Fenomena Ini Terjadi?

Psikologi sosial memberi beberapa penjelasan. Dollard dan koleganya (1939), melalui Frustration–Aggression Hypothesis, menunjukkan bahwa frustrasi yang tidak tersalurkan dengan sehat akan mencari pelampiasan pada pihak yang dianggap aman untuk ditindas. Tekanan akademik, konflik sosial, atau tantangan pribadi dapat memicu seseorang untuk melampiaskan kemarahan pada individu yang lebih lemah.
Albert Bandura (1977) menambahkan bahwa perilaku agresif dapat dipelajari melalui pengamatan dan peniruan. Jika praktik merendahkan atau mempermalukan pernah dialami, ada kemungkinan besar praktik itu akan diulang kepada pihak yang lebih baru.
Eksperimen Philip Zimbardo (1973) dalam Stanford Prison Experiment mengungkapkan bahwa peran sosial, lingkungan tertutup, dan kekuasaan yang tidak terawasi dapat mendorong perubahan perilaku drastis, bahkan pada individu yang sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda agresivitas.
Emile Durkheim (1893) juga mengingatkan bahwa solidaritas kelompok yang terlalu kuat dapat menciptakan pembelahan tajam antara “kelompok dalam” (in-group) dan “kelompok luar” (out-group). Di lingkungan pendidikan, hal ini bisa berarti senior atau kelompok eksklusif memandang anggota baru sebagai pihak yang harus diuji atau ditempa melalui cara yang tidak selalu positif.

Pelajaran bagi Dunia Pendidikan

Kurt Lewin (1947) menekankan bahwa norma kelompok sering kali lebih berpengaruh daripada aturan tertulis. Artinya, walaupun sekolah memiliki peraturan ketat yang melarang perundungan, norma informal yang membenarkan tindakan tersebut akan membuat peraturan sulit dijalankan.
Untuk menghindari risiko itu, manajemen pendidikan dapat mengambil langkah-langkah berikut:
  • Membangun Saluran Emosi yang Sehat
    Menyediakan layanan konseling, kegiatan seni, olahraga, dan forum dialog sebagai wadah ekspresi yang positif.
  • Menjadi Teladan Perilaku Positif
    Guru, dosen, dan siswa senior perlu menunjukkan bahwa kepemimpinan adalah soal membimbing, bukan menguasai.
  • Menciptakan Pengawasan yang Transparan
    Menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan bebas dari ancaman balasan.
  • Mengelola Solidaritas Secara Inklusif
    Mengadakan kegiatan kolaboratif lintas angkatan atau program mentoring untuk mengurangi jarak sosial.
  • Kepemimpinan Humanis
    Mengadopsi prinsip Ki Hadjar Dewantara "Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" untuk memastikan pemimpin di dunia pendidikan menjadi teladan, penggerak, dan pendorong yang memberi ruang tumbuh bagi semua.

Pendidikan ideal bukan hanya mencetak individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga membentuk manusia yang beradab, saling menghormati, dan mampu hidup bersama dalam perbedaan. Hierarki memang diperlukan untuk mengatur peran, namun harus diarahkan untuk melindungi, bukan menekan.
Freire mengingatkan bahwa sejatinya pendidikan adalah pendidikan yang membebaskan, di mana setiap individu dapat mengembangkan potensinya tanpa terhambat oleh tradisi yang merugikan. Mengelola hierarki dengan nilai-nilai humanis adalah langkah penting untuk memastikan bahwa sekolah dan universitas menjadi ruang aman bagi semua.

Referensi
  • Bandura, A. (1977). Social Learning Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.
  • Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.
  • Dollard, J., Doob, L. W., Miller, N. E., Mowrer, O. H., & Sears, R. R. (1939). Frustration and Aggression. New Haven: Yale University Press.
  • Durkheim, E. (1893). The Division of Labor in Society. New York: Free Press.
  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
  • Lewin, K. (1947). Frontiers in Group Dynamics. Human Relations, 1(1), 5–41.
  • Zimbardo, P. (1973). The Mind is a Formidable Jailer: A Pirandellian Prison. New York Times Magazine, April 8, 1973.
  • Dewantara, K. H. (1937). Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.

No comments:

Post a Comment

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...