Wednesday, August 13, 2025

Dari Kekuasaan ke Kebijaksanaan: Menata Pendidikan demi Jejak Manfaat yang Abadi

Dalam setiap ekosistem pendidikan baik itu sekolah, perguruan tinggi, lembaga pelatihan, maupun pusat riset terdapat sebuah energi yang menggerakkan arah dan denyut kehidupan organisasinya: kekuasaan. Kekuasaan di sini bukanlah sekadar alat dominasi atau pengendalian, melainkan instrumen manajerial yang berfungsi untuk menciptakan keteraturan yang sehat, memandu arah visi, dan menjaga kesinambungan nilai.
Keteraturan yang dimaksud bukanlah disiplin kaku tanpa ruang bernapas, melainkan tatanan yang memungkinkan semua pihak: pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, bahkan komunitas pendukung untuk tumbuh menjadi insan yang merdeka secara intelektual dan bijaksana secara moral.
Max Weber (1947) menegaskan bahwa kekuasaan yang dikelola dengan prinsip rasional-legal dapat menciptakan keadilan dan stabilitas. Dalam konteks pendidikan, hal ini berarti kebijakan dan keputusan tidak didasarkan pada kehendak personal semata, tetapi pada kerangka aturan yang transparan, adil, dan berpihak pada pengembangan kualitas manusia.

Kekuasaan sebagai Amanah, Bukan Ambisi
Dalam manajemen pendidikan, kekuasaan adalah amanah yang sarat tanggung jawab moral. Kekuasaan diperlukan untuk menjaga arah visi, memastikan pelaksanaan misi, dan menanamkan nilai-nilai luhur pendidikan.
Michel Foucault (1977) mengingatkan bahwa kekuasaan hadir di setiap relasi sosial; yang menentukan nilainya adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan, apakah menjadi alat pengekangan, atau menjadi pintu pembebasan.
Pemimpin pendidikan yang visioner akan memanfaatkan kekuasaan bukan untuk menundukkan, melainkan untuk membebaskan potensi. Kekuasaan memupuk partisipasi aktif dari semua elemen, membangun rasa tanggung jawab bersama, dan menciptakan sense of ownership terhadap tujuan organisasi.

Belajar dan Berkarya: Jalan Bersama Menuju Kemerdekaan
Pendidikan, pada hakikatnya, adalah proses memerdekakan. Bukan hanya memerdekakan peserta didik, tetapi juga memerdekakan para pendidik, peneliti, dan semua yang terlibat di dalamnya dari keterkungkungan pola pikir yang sempit.
Paulo Freire (1970) menegaskan bahwa proses belajar harus mengubah pengetahuan menjadi tindakan transformatif. Dalam ekosistem pendidikan, ini berarti membuka ruang untuk inovasi, kolaborasi lintas disiplin, dan keberanian mengambil risiko kreatif demi kemajuan bersama.
Ki Hadjar Dewantara merumuskannya secara bijak: pendidikan adalah upaya “menuntun segala kekuatan kodrat” agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat. Prinsip ini berlaku bukan hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi seluruh insan pendidikan yang terus belajar, berkembang, dan berkontribusi.

Berilmu dan Beramal: Jiwa Organisasi Pendidikan
Ilmu tanpa penerapan hanya akan menjadi tumpukan konsep di rak pustaka; penerapan tanpa ilmu berisiko kehilangan arah.
Dalam Islam, Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama (HR. Ahmad). Prinsip ini mempertegas bahwa pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang diwujudkan dalam amal nyata demi kesejahteraan kolektif.
Peter Senge (1990) menyebut organisasi pendidikan yang ideal sebagai learning organization, sebuah komunitas yang tidak berhenti belajar, di mana pengetahuan kolektif digunakan untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan.

Warisan yang Abadi adalah Manfaat
Siklus kehidupan di dunia pendidikan bergerak terus: mahasiswa datang dan lulus, guru mengajar lalu pensiun, kebijakan silih berganti. Namun, yang bertahan bukanlah jabatan atau proyek jangka pendek, melainkan warisan manfaat yang memberi arti bagi generasi berikutnya.
Stephen R. Covey (2004) menekankan pentingnya legacy, meninggalkan jejak kontribusi yang melampaui masa jabatan atau peran formal. Dalam konteks pendidikan, ini berarti memastikan setiap kebijakan, inovasi, dan karya memiliki dampak jangka panjang (long term impact) yang membangun peradaban.

Manajemen pendidikan sebagai seni menyeimbangkan kekuasaan, keteraturan, kebijaksanaan, dan kemerdekaan berpikir. dengan mengajak kita untuk belajar guna memahami, berkarya untuk mengisi, berilmu untuk membimbing, dan beramal untuk menghidupkan.
Pada akhirnya, yang akan dikenang bukanlah posisi atau gelar yang kita miliki, melainkan jejak manfaat yang kita tinggalkan bagi manusia dan kehidupan itu sendiri.

Referensi
  • Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Hadits nomor 23408.
  • Covey, S. R. (2004). The 8th Habit: From Effectiveness to Greatness. New York: Free Press.
  • Dewantara, K. H. (1935). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.
  • Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. New York: Pantheon Books.
  • Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Herder and Herder.
  • Senge, P. M. (1990). The Fifth Discipline: The Art & Practice of The Learning Organization. New York: Doubleday.
  • Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Oxford University Press.

No comments:

Post a Comment

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...