Nilai Matematika TKA 2025 yang merosot tajam bukan sekadar laporan statistik, tetapi cermin yang memantulkan banyaknya persoalan mendasar dalam ekosistem pendidikan Indonesia. Padahal Tes Kemampuan Akademik (TKA) dirancang untuk mengatasi masalah lama: tidak adanya laporan capaian akademik individu yang terstandar dan objektif. Selama ini, ketergantungan pada nilai rapor sekolah membuat proses seleksi kerap tidak adil karena standar penilaian antar-satuan pendidikan sangat beragam.
TKA ingin memberikan solusi: menghadirkan alat ukur yang sama bagi seluruh murid Indonesia. Namun kenyataan pahit muncul—nilai rendah menunjukkan bahwa pembelajaran kita tidak disiapkan secara selaras dengan standar kompetensi nasional, terutama dalam hal pemahaman konseptual, ketepatan prosedural, dan keterhubungan dengan situasi kontekstual (KPK)
TKA: Cermin Objektif dari Ketidaksiapan Sistem
TKA bukanlah penyebab masalah, hanya menampilkan realitas apa adanya. Rendahnya nilai Matematika menandakan bahwa pembelajaran kita selama ini belum menyentuh tiga aspek inti pembelajaran numerasi yang esensial:
- Konseptual, murid belum memahami makna bilangan, hubungan antar-besaran, relasi matematika, atau alasan di balik suatu prosedur.
- Prosedural, Banyak murid menghafal langkah, tetapi tidak memahami kapan, mengapa, dan bagaimana prosedur digunakan secara benar.
- Kontekstual, Matematika tidak terhubung dengan kehidupan nyata; sehingga ketika bertemu soal penalaran TKA, murid kesulitan mentransfer konsep ke situasi baru.
Kelemahan pada tiga komponen inilah yang menyebabkan hasil TKA tampak “jeblok”.
Akar Masalah: Kurikulum yang Tidak Konsisten dan Kemerdekaan yang Kebablasan
Guru selama beberapa tahun terakhir menghadapi perubahan kebijakan, pendekatan, dan istilah yang berganti terlalu cepat. “Kemerdekaan belajar” yang mulanya dimaksudkan memberi ruang inovasi, dalam praktiknya sering berubah menjadi kebingungan karena:
- pedoman teknis tidak jelas,
- standar materi tidak stabil,
- pelatihan tidak merata,
- kontrol mutu longgar,
- penilaian antar sekolah sangat berbeda.
Ketidakkonsistenan ini membuat guru tidak memiliki acuan kokoh untuk membangun pembelajaran matematika berbasis KPK.
Masalah Fondasional: Tantangan yang Masih Kita Hadapi
Sekolah dasar merupakan fase emas dalam pembentukan kemampuan bernalar numerik. Pada tahap inilah anak membangun pemahaman awal tentang bilangan, operasi hitung, pola, dan hubungan kuantitatif. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian murid melanjutkan ke jenjang berikutnya tanpa penguasaan numerasi yang cukup kokoh. Hal ini bukan karena SD gagal menjalankan fungsi pendidikannya, tetapi karena kompleksitas sistem pembelajaran yang menghadang: variasi latar belakang murid, keterbatasan sumber belajar, beban administratif guru, dan ketidakkonsistenan kebijakan.
Tantangan ini dapat diurai melalui tiga aspek KPK—Konseptual, Prosedural, dan Kontekstual—yang belum sepenuhnya terintegrasi secara seimbang.
Nilai Matematika TKA 2025 yang rendah bukan menunjukkan lemahnya potensi murid, tetapi lemahnya struktur sistem pembelajaran kita. Jika pendidikan numerasi ingin diperbaiki, maka fondasinya harus ditata ulang secara menyeluruh melalui penguatan Konseptual, Prosedural, dan Kontekstual sejak bangku SD.
TKA telah memberi cermin yang jujur. Tugas kita sekarang bukan mempersalahkan hasilnya, tetapi memperbaiki wajah yang terpantul di dalamnya. Dengan perbaikan sistem yang terukur, konsisten, dan selaras, pendidikan Indonesia dapat kembali melahirkan generasi yang tidak hanya mampu menghitung, tetapi juga mampu menalar, memecahkan masalah, dan menghadapi masa depan dengan percaya diri dan kompetensi yang solid.
No comments:
Post a Comment