Sunday, October 19, 2025

Bincang Santai di Ruang Rektor: Merajut Agenda Kebangsaan melalui Bela Negara

Universitas Al-Falah As-Sunniyah (UAS) Kencong Jember Teguhkan Spirit Cinta Tanah Air

Kencong, Jember — Suasana siang itu terasa hangat dan penuh keakraban di ruang kerja Rektor Universitas Al-Falah As-Sunniyah (UAS) Kencong, Jember. Di ruang yang biasanya dipenuhi kegiatan administratif itu, kali ini berlangsung bincang santai namun sarat makna antara Rektor UAS, Rijal Mumazziq Z., M.H.I., para Dekan, Koordinator Program Studi, serta sejumlah dosen, bersama Syaiful Rahman, S.Pd., M.Pd., selaku Fasilitator Bela Negara.

Obrolan ringan yang dibingkai dalam semangat akademik tersebut berfokus pada satu tema besar: agenda-agenda kebangsaan melalui Bela Negara dan semangat hubbul wathon (cinta tanah air).

Dari Ruang Santai, Lahir Gagasan Serius

Dalam suasana penuh kekeluargaan, diskusi mengalir begitu alami. Rektor Rijal Mumazziq membuka perbincangan dengan pandangan reflektif tentang pentingnya membumikan nilai-nilai kebangsaan di lingkungan perguruan tinggi.

“Bela Negara itu tidak melulu soal baris-berbaris atau atribut militer, tetapi tentang bagaimana kampus melahirkan generasi yang berilmu dan berakhlak untuk membangun bangsa. Hubbul wathon harus hidup di setiap ruang belajar,” ujarnya dengan senyum hangat.

Para dekan dan dosen menimpali dengan gagasan-gagasan segar. Ada yang mengusulkan integrasi nilai Bela Negara dalam mata kuliah umum, ada pula yang menyoroti pentingnya gerakan kampus hijau sebagai bentuk Bela Negara ekologis.

Fasilitator Bela Negara Dorong Kesadaran Kolektif

Dalam kesempatan itu, Syaiful Rahman, S.Pd., M.Pd. mengajak semua pihak untuk melihat Bela Negara sebagai gerakan moral dan kesadaran kolektif di lingkungan akademik.

“Bela Negara di era digital menuntut keberanian menjaga nalar sehat, melawan hoaks, dan menegakkan nilai kebenaran. Mahasiswa dan dosen harus menjadi teladan dalam berpikir jernih dan bertindak beretika,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa agenda kebangsaan di kampus sebaiknya diarahkan pada penguatan karakter, tanggung jawab sosial, dan semangat gotong royong, agar semangat cinta tanah air tidak hanya menjadi slogan, tetapi menjadi nafas dalam aktivitas ilmiah dan sosial kampus.

Agenda Kebangsaan dari Kampus untuk Negeri

Bincang santai di ruang rektor itu melahirkan sejumlah ide konkret yang akan dirancang menjadi agenda kebangsaan kampus, antara lain:

  • Kuliah Kebangsaan yang melibatkan tokoh nasional dan daerah untuk berbagi inspirasi Bela Negara.

  • Gerakan Kampus Peduli sebagai wujud Bela Negara sosial melalui kegiatan pengabdian masyarakat.

  • Penguatan literasi digital dan etika bermedia bagi mahasiswa, guna membangun ketahanan informasi.

  • Refleksi kebangsaan rutin pada kegiatan akademik dan organisasi mahasiswa.

Dari percakapan sederhana, lahir semangat besar untuk menjadikan UAS Kencong sebagai ruang pengabdian ilmiah dan kebangsaan.

Dari Kampus, Menyalakan Cinta Tanah Air

Menjelang akhir pertemuan, suasana semakin cair namun penuh semangat. Rektor menutup dialog dengan pesan penuh makna:

“Kampus harus menjadi tempat di mana ilmu dan iman berpadu. Dari ruang-ruang kecil seperti ini, lahir gagasan besar untuk negeri. Bela Negara adalah cinta, dan cinta itu harus terus tumbuh dari hati yang berilmu.”

Bincang santai itu berakhir dengan senyum dan tekad bersama — bahwa dari ruang rektor yang sederhana, Universitas Al-Falah As-Sunniyah Kencong Jember tengah menyalakan bara kecil semangat kebangsaan yang akan terus menyala di dada para pendidik dan mahasiswa.

Wednesday, October 15, 2025

Sikap Sempurna Menyanyikan Indonesia Raya di Awal Pembelajaran: Cermin Kesadaran dan Karakter Kebangsaan

Bangsa yang beradab selalu memuliakan simbol-simbol negaranya. Salah satunya adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya  di lingkunagan  pendidikan, yang menggema di setiap sudut sekolah setiap pagi. Namun, pertanyaannya—apakah kita sekadar menyanyikannya sebagai rutinitas, atau benar-benar menghayatinya sebagai wujud cinta dan kebanggaan terhadap tanah air?

Menyanyikan Indonesia Raya di awal pembelajaran menjadi momentum reflektif bagi seluruh warga sekolah untuk meneguhkan kembali jati diri kebangsaan. Sikap sempurna saat lagu berkumandang bukan hanya menunjukkan disiplin, tetapi juga mencerminkan penghormatan terhadap perjuangan dan pengorbanan para pendahulu bangsa. Ketika setiap peserta didik, guru dan tenaga kependidikan berdiri tegap, menghentikan sejenak segala aktivitas, sesungguhnya mereka sedang melatih diri untuk menghargai nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi berdirinya Indonesia.

Dari kebiasaan sederhana ini, kita belajar tentang lima nilai bela negara: cinta tanah air, sadar berbangsa dan bernegara, setia pada Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara, serta kemampuan awal bela negara. Semua itu tidak akan tumbuh tanpa pembiasaan dan keteladanan. Maka, saat guru mendampingi peserta didik menyanyikan Indonesia Raya, yang terbangun bukan hanya suasana khidmat, tetapi juga kesadaran kolektif bahwa nasionalisme harus dirawat setiap hari, bukan hanya diucapkan pada momen seremonial.

Refleksinya sederhana namun penuh makna optimisme: saat kita mampu berdiri tegap dan menyanyikan lagu kebangsaan dengan sepenuh hati, di sanalah tumbuh benih keberanian, kejujuran, dan kecintaan kepada tanah air. Dari sikap yang tampak sederhana itu, kita sedang menyiapkan generasi yang siap berdiri teguh membela kebenaran, menjaga kehormatan bangsa, dan membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih gemilang.

Mari terus kita laksanakan pembiasaan ini dengan kesadaran dan kebanggaan—karena setiap nada Indonesia Raya yang kita nyanyikan adalah doa dan janji suci untuk selalu setia, mencintai, dan berbakti kepada Ibu Pertiwi

#BelaNegara
#CintaTanahAir
#IndonesiaJaya
#IndonesiaKuat
#IndonesiaMaju
#GenerasiEmas

Tuesday, October 14, 2025

The Power of Surrounding Yourself with the Right People

Dalam perjalanan hidup, setiap manusia memiliki mimpi, cita-cita, dan tujuan yang ingin dicapai. Namun, tidak semua orang menyadari bahwa salah satu faktor paling menentukan keberhasilan bukan hanya kemampuan diri sendiri, melainkan siapa orang-orang yang ada di sekitar kita. Lingkungan sosial tempat kita tumbuh, bekerja, dan berinteraksi membentuk cara berpikir, sikap, bahkan arah langkah hidup kita. Itulah sebabnya, memilih untuk dikelilingi oleh orang yang tepat bukan sekadar pilihan, melainkan strategi hidup yang bijak.

Orang-orang di sekitar kita adalah cermin. Mereka mencerminkan nilai, standar, dan kebiasaan yang tanpa sadar kita serap setiap hari. Jika kita dikelilingi oleh individu yang penuh semangat, berpikiran positif, dan mau terus belajar, maka energi itu akan menular dan menggerakkan kita ke arah yang sama. Sebaliknya, berada di lingkungan yang penuh keluhan, pesimisme, dan rasa putus asa dapat menghambat langkah kita, seolah semua potensi terbaik dalam diri teredam oleh kabut keraguan.

Berada di tengah orang yang tepat bukan berarti mencari kesempurnaan, melainkan mencari keaslian dan dorongan positif. Orang-orang yang tulus ingin kita tumbuh, bukan tenggelam dalam persaingan semu. Mereka tidak hanya hadir di saat kita sukses, tetapi juga tetap menggenggam tangan ketika kita jatuh. Mereka menegur dengan kasih, memotivasi tanpa menghakimi, dan mengingatkan kita akan tujuan ketika arah mulai kabur. Itulah makna sejati dari “right people” — mereka yang membantu kita menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Jika kita ingin terbang lebih tinggi, maka kita perlu belajar untuk memilih “kawanan elang”, bukan “gerombolan ayam”. Carilah komunitas yang menumbuhkan, bukan yang melemahkan; yang menginspirasi, bukan yang menakut-nakuti. Karena pada akhirnya, lingkungan yang tepat bukan hanya membawa kita pada keberhasilan, tapi juga pada ketenangan batin, keyakinan diri, dan makna hidup yang lebih dalam.

Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan bersama orang yang salah. Maka, kelilingilah dirimu dengan mereka yang membuatmu berpikir lebih luas, bekerja lebih keras, dan mencintai kehidupan dengan lebih dalam. Ingatlah — energi orang di sekitarmu akan menjadi bahan bakar bagi perjalananmu. Pilihlah dengan bijak, dan lihat bagaimana hidupmu perlahan berubah menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih bermakna.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb — hanya Allah yang Maha Mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

"Talent and Luck" dalam Hidup: Antara Usaha dan Kepasrahan

Dalam setiap kisah kehidupan manusia, dua hal sering menjadi bahan perenungan: talent (bakat) dan luck (keberuntungan). Sebagian orang merasa sukses karena kerja keras dan kemampuan diri, sementara yang lain menyadari bahwa keberuntungan memainkan peran besar dalam perjalanan hidupnya. Namun, di balik dua hal ini tersembunyi satu prinsip bijak yang menuntun keseimbangan: “Tekuni apa yang dapat kita kendalikan, serahkan dan pasrahkan atas apa yang tidak bisa kita kendalikan.”

Talent: Ruang Kendali yang Harus Ditekuni

Talent adalah anugerah bawaan, namun pengelolaannya adalah tanggung jawab pribadi. Kita tidak bisa memilih bakat apa yang diberikan, tetapi kita bisa memilih seberapa dalam kita menekuninya. Inilah wilayah kendali kita—upaya, disiplin, dan proses belajar.

Bakat tanpa ketekunan hanyalah potensi yang tertidur. Sementara kerja keras tanpa arah bisa membuat lelah tanpa hasil. Maka, tekunilah apa yang ada dalam genggaman: belajar, berlatih, memperbaiki diri. Inilah bentuk kesadaran bahwa keberhasilan bukan soal seberapa besar bakat, tetapi seberapa besar kesungguhan untuk mengasahnya.

Luck: Hal di Luar Kendali yang Patut Disyukuri

Sementara luck berada di sisi lain dari kendali kita. Kita tidak bisa mengatur kapan kesempatan datang, atau dalam situasi apa keberuntungan berpihak. Namun, kita bisa membuka diri terhadap kemungkinan. Orang yang berpikir positif, mudah bergaul, dan berani mencoba hal baru, cenderung lebih sering “bertemu” dengan keberuntungan.

Menyadari bahwa keberuntungan tidak selalu bisa dikendalikan mengajarkan kita untuk pasrah dalam pengertian yang aktif—bukan menyerah, tetapi percaya pada proses. Kita menanam dengan sungguh-sungguh, namun tidak memaksa hasil. Kita berikhtiar sepenuh hati, lalu menyerahkan hasilnya kepada Tuhan.

Keseimbangan Antara Usaha dan Kepasrahan

Hidup menjadi seimbang ketika kita tahu batas antara usaha dan takdir. Kita menekuni bakat sebagai bentuk tanggung jawab, sekaligus berserah terhadap keberuntungan sebagai bentuk keimanan. Dalam titik keseimbangan ini, kita menemukan ketenangan batin: tidak terlalu cemas terhadap hal yang tak bisa kita kendalikan, dan tidak lengah terhadap hal yang masih bisa kita usahakan.

Prinsip ini sejalan dengan ajaran para filsuf Stoa—bahwa kebahagiaan terletak pada kemampuan membedakan apa yang bisa dan tidak bisa kita kendalikan. Kita tidak mengatur arah angin, tetapi kita bisa mengatur layar kapal. Begitu pula dalam hidup: kita tidak bisa menentukan kapan keberuntungan datang, tetapi kita bisa mempersiapkan diri agar siap saat ia menghampiri.

Hidup Sebagai Perpaduan antara Tekad dan Takdir

Kesuksesan sejati bukan hanya hasil dari talent atau luck, tetapi dari harmoni antara keduanya. Talent membuat kita mampu, luck membuat kita berkesempatan. Namun, di atas semua itu, kebijaksanaan membuat kita tenang: menekuni yang bisa kita kerjakan, dan menerima dengan lapang hati apa yang terjadi di luar kuasa kita.

Pada akhirnya, hidup bukan sekadar perlombaan untuk menjadi yang paling berbakat atau paling beruntung, melainkan perjalanan untuk menjadi yang paling sadar—sadar akan peran diri, dan sadar akan peran Tuhan dalam setiap langkah kehidupan.
Karena yang paling indah bukan hanya saat kita berhasil, tetapi saat kita mampu berusaha dengan penuh tekad, dan pasrah dengan penuh keikhlasan.

Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb

Sunday, October 12, 2025

Kepemimpinan Transformasional: Menginspirasi Melalui Pengaruh Idealis

Dalam setiap organisasi, terutama di dunia pendidikan, kepemimpinan bukan sekadar soal jabatan, melainkan tentang keteladanan. Pemimpin sejati bukan hanya mengatur arah, tetapi juga menyalakan semangat. Inilah hakikat dari kepemimpinan transformasional, sebuah pendekatan yang tidak hanya menuntun pada pencapaian tujuan, tetapi juga menumbuhkan perubahan paradigma dan karakter dalam diri setiap anggota organisasi.

Menurut Bass & Riggio (2006), kepemimpinan transformasional memiliki empat dimensi utama, dan di antara keempatnya, Pengaruh Idealis (Idealized Influence) menempati posisi yang sangat fundamental. Pengaruh idealis membuat seorang pemimpin menjadi panutan, seseorang yang tindakannya selaras dengan nilai yang diyakininya. Seorang pemimpin yang dihormati bukan karena kekuasaan yang dimiliki, tetapi karena integritas yang terpancar dari setiap keputusan yang diambil dan komitmen moral yang dijaga dengan konsisten.

Dalam konteks pendidikan, seorang kepala sekolah dengan pengaruh idealis tidak hanya menjadi manajer administrasi, tetapi juga penjaga moral komunitas belajar. Ia hadir bukan sekadar memberi instruksi, tetapi menanamkan nilai dan memberi makna pada setiap kebijakan. Sikap jujur, adil, rendah hati, dan konsisten terhadap prinsip kebenaran menjadikannya sosok yang dipercaya oleh guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik. Di sinilah pemimpin menjadi sumber inspirasi etis yang membentuk budaya organisasi yang berkarakter.

Bush (2007) menegaskan bahwa kepemimpinan yang berakar pada nilai dan moral mampu menciptakan budaya kolektif yang kuat, di mana setiap anggota komunitas sekolah merasa memiliki tanggung jawab moral yang sama. Ketika seorang pemimpin mengedepankan integritas dan teladan, maka tanpa banyak kata, ia sesungguhnya sedang menggerakkan perubahan. Nilai-nilai yang dihidupi pemimpin akan menular, membentuk kebiasaan, dan pada akhirnya menjadi budaya bersama.

Lebih jauh lagi, Bass & Steidlmeier (1999) dalam Ethics, Character, and Authentic Transformational Leadership Behavior menjelaskan bahwa kepemimpinan nilai (moral leadership) merupakan fondasi dari kepemimpinan transformasional yang otentik. Pemimpin yang otentik tidak berpura-pura menjadi sempurna, tetapi berani tampil apa adanya dengan kesadaran penuh terhadap tanggung jawab moral yang diembannya. Keotentikan inilah yang menumbuhkan kepercayaan dan rasa hormat, dua hal yang menjadi energi utama dalam transformasi organisasi.

Kepemimpinan dengan pengaruh idealis bukan tentang mencari pengikut, melainkan menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru. Ia menuntun bukan dengan perintah, tetapi dengan teladan; menggerakkan bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan kepercayaan; dan membangun bukan dengan ambisi pribadi, tetapi dengan panggilan nilai. Dalam setiap langkahnya, pemimpin semacam ini meneguhkan pesan bahwa perubahan besar selalu berawal dari kekuatan moral dan keteladanan kecil yang dilakukan dengan konsisten.

Maka, di tengah arus perubahan dan tantangan dunia pendidikan yang semakin kompleks, mari kita renungkan: sejauh mana kita telah menjadi pemimpin yang memancarkan pengaruh idealis? Sebab, ketika kepemimpinan lahir dari nilai dan integritas, maka perubahan bukan hanya mungkin, tetapi pasti terjadi.

Wednesday, October 8, 2025

Kepemimpinan Transformasional di Era Keterbukaan Informasi: Menumbuhkan Growth Mindset di Tengah Tantangan VUCA

Oleh: Syaiful Rahman_Fas.Bela Negara

“Pemimpin hebat bukan sekadar memberi perintah, tetapi menyalakan semangat belajar dan menumbuhkan harapan.”

Konteks Perubahan Global dan Tantangan Pendidikan

Kita hidup di zaman yang bergerak dengan kecepatan luar biasa. Dunia pendidikan kini menghadapi realitas baru yang sering disebut sebagai era VUCA — sebuah kondisi yang penuh Volatility (gejolak perubahan), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan).

Di era ini, informasi mengalir begitu cepat tanpa batas ruang dan waktu. Sumber belajar tidak lagi hanya berada di ruang kelas, melainkan tersebar di berbagai platform digital dan jaringan global.
Keterbukaan informasi membuat peserta didik tumbuh dalam lingkungan yang serba terhubung dan menuntut mereka untuk berpikir kritis, kreatif, adaptif, serta mampu memecahkan masalah yang kompleks.

Kondisi tersebut membawa dampak langsung terhadap cara kita memimpin dan mengelola pendidikan.
Pemimpin sekolah tidak cukup hanya menjadi pengarah teknis atau pengawas pembelajaran. Mereka harus mampu menjadi penggerak perubahan, pemberi inspirasi, dan pembangun budaya belajar yang berkelanjutan.

Dari Instruksi Menuju Transformasi

Selama beberapa dekade, paradigma kepemimpinan pendidikan banyak dipengaruhi oleh pendekatan instruksional.
Menurut Hallinger dan Murphy (1985), kepemimpinan instruksional berfokus pada bagaimana kepala sekolah merencanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran agar mencapai standar mutu yang diharapkan.

Pendekatan ini penting, terutama untuk menjaga keteraturan dan memastikan proses belajar berjalan sesuai tujuan kurikulum. Namun, di tengah disrupsi informasi yang cepat dan ekspektasi global yang terus berubah, gaya kepemimpinan ini menjadi kurang lentur.
Pemimpin yang hanya mengandalkan instruksi sering kali menghadapi kesulitan dalam menumbuhkan motivasi intrinsik, kreativitas, dan kolaborasi guru.

Instruksi memastikan keteraturan, tetapi inspirasi menumbuhkan kehidupan.

Kepemimpinan Transformasional: Menumbuhkan Daripada Mengatur

Kepemimpinan transformasional hadir sebagai jawaban atas kebutuhan zaman.
Menurut Bass dan Riggio (2006), pemimpin transformasional berfokus pada upaya membangun hubungan yang bermakna dengan pengikutnya, menanamkan visi yang kuat, serta menumbuhkan kesadaran dan komitmen bersama.

Pemimpin transformasional bukan sekadar pengendali proses, melainkan penyulut energi perubahan. Ia mampu melihat potensi di balik keterbatasan, dan mengubah rutinitas menjadi ruang pertumbuhan.
Dalam konteks sekolah, kepemimpinan ini tampak pada perilaku kepala sekolah yang:

  • Memberi kepercayaan dan ruang bagi guru untuk bereksperimen,

  • Mendorong refleksi diri dan pembelajaran berkelanjutan,

  • Menjadi teladan moral, serta

  • Menumbuhkan rasa bangga dan makna dalam bekerja.

Kepemimpinan semacam ini melahirkan lingkungan pendidikan yang hangat, terbuka, dan berorientasi pada pembelajaran sepanjang hayat.

Kepemimpinan Transformasional dan Growth Mindset

Salah satu fondasi penting kepemimpinan transformasional adalah growth mindset, atau pola pikir bertumbuh.
Gagasan yang dikemukakan oleh Carol Dweck (2006) ini menyatakan bahwa kemampuan seseorang tidak bersifat tetap, melainkan dapat berkembang melalui usaha, latihan, dan pengalaman belajar.

Pemimpin dengan growth mindset tidak memandang kesalahan sebagai kegagalan, melainkan sebagai proses belajar. Tidak menuntut kesempurnaan, tetapi menghargai setiap langkah kemajuan.
Dalam konteks organisasi pendidikan, sikap ini akan mendorong guru dan peserta didik untuk berani mencoba hal baru, terbuka terhadap umpan balik, serta berkomitmen pada pembelajaran yang terus-menerus.

“Pemimpin yang bertumbuh akan melahirkan komunitas yang bertumbuh.”

Kepemimpinan transformasional dan growth mindset adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya menekankan pentingnya pemberdayaan manusia sebagai inti perubahan — bukan hanya sistem, struktur, atau teknologi.

Relevansi di Era Global dan Keterbukaan Informasi

Di tingkat global, organisasi pendidikan di seluruh dunia sedang bertransformasi menuju bentuk learning organization — organisasi yang mampu belajar, beradaptasi, dan berinovasi lebih cepat daripada perubahan yang terjadi.
Menurut Peter Senge (2006), organisasi yang belajar adalah tempat di mana orang secara terus-menerus memperluas kapasitas mereka untuk menciptakan hasil yang benar-benar diinginkan.

Dalam konteks ini, kepemimpinan transformasional menjadi krusial. Dengan menumbuhkan budaya belajar yang dinamis, mendorong kolaborasi lintas disiplin, serta menciptakan iklim psikologis yang aman untuk mencoba hal baru.
Pemimpin yang berpikir terbuka dan berorientasi pertumbuhan tidak takut terhadap perubahan — justru memanfaatkannya sebagai peluang untuk meningkatkan mutu pendidikan dan daya saing bangsa.

Memimpin dengan Hati, Visi, dan Keberanian Bertumbuh

Era VUCA menuntut pemimpin pendidikan untuk berpikir sistemik, bertindak adaptif, dan berjiwa pembelajar.
Kepemimpinan transformasional menawarkan paradigma baru — dari mengatur menuju menumbuhkan, dari mengontrol menuju menginspirasi, dan dari stagnasi menuju pertumbuhan berkelanjutan.

Pemimpin transformasional bukan hanya manajer perubahan, tetapi arsitek masa depan pendidikan.
Seorang pemimpin yang menyalakan semangat, menumbuhkan keyakinan, dan memampukan setiap individu untuk berkembang di tengah ketidakpastian global.

“Seorang Pemimpin tidak hanya membentuk pengikut yang taat, tetapi lebih pada menumbuhkan pemimpin-pemimpin baru yang siap menghadapi dunia yang terus berubah.”

Referensi:

Bass, B. M., & Riggio, R. E. (2006). Transformational leadership (2nd ed.). Lawrence Erlbaum Associates.

Dweck, C. S. (2006). Mindset: The new psychology of success. Random House.

Hallinger, P., & Murphy, J. (1985). Assessing the instructional management behavior of principals. The Elementary School Journal, 86(2), 217–247. https://doi.org/10.1086/461445

Leithwood, K., & Jantzi, D. (2000). The effects of transformational leadership on organizational conditions and student engagement with school. Journal of Educational Administration, 38(2), 112–129. https://doi.org/10.1108/09578230010320064

Nguni, S., Sleegers, P., & Denessen, E. (2006). Transformational and transactional leadership effects on teachers’ job satisfaction, organizational commitment, and organizational citizenship behavior in primary schools: The Tanzanian case. School Effectiveness and School Improvement, 17(2), 145–177. https://doi.org/10.1080/09243450600565746

Senge, P. M. (2006). The fifth discipline: The art and practice of the learning organization. Doubleday.

Paradigma Kepemimpinan di Dunia Pendidikan dalam Era Keterbukaan Informasi

Oleh: Syaiful Rahman_Fas.Bela Negara

Kepemimpinan dalam dunia pendidikan selalu menjadi kunci utama dalam menentukan arah perubahan dan kualitas lembaga pendidikan. Dari masa ke masa, cara pandang terhadap makna kepemimpinan terus berevolusi seiring dengan perkembangan sosial, politik, dan teknologi yang memengaruhi pola pikir masyarakat. Jika pada masa lalu kepemimpinan identik dengan kekuasaan dan kendali penuh atas keputusan, maka kini kepemimpinan dituntut untuk menjadi ruang kolaboratif yang menghidupkan potensi setiap individu di dalam organisasi.

Pada era tradisional, pemimpin pendidikan sering digambarkan sebagai figur sentral yang memegang otoritas tunggal. Kepala sekolah menjadi pusat kebijakan, sementara guru, staf, dan peserta didik ditempatkan sebagai pelaksana yang harus patuh pada aturan. Gaya kepemimpinan semacam ini banyak dipengaruhi oleh model birokrasi pemerintahan yang menekankan keteraturan, ketaatan, dan hierarki yang jelas. Kepemimpinan pada masa itu mampu menciptakan sistem yang stabil, tetapi sering kali menutup ruang dialog dan partisipasi. Pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan lebih banyak mengatur daripada mendengarkan, lebih sering memerintah daripada menginspirasi.

Seiring berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi komunikasi, paradigma tersebut mulai bergeser. Dunia pendidikan kini memasuki era keterbukaan informasi yang tidak lagi memungkinkan pemimpin berdiri di atas menara gading. Semua orang, baik guru, peserta didik, maupun masyarakat, dapat mengakses pengetahuan dan informasi dengan mudah. Keterbukaan ini melahirkan budaya baru dalam berorganisasi, di mana transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas menjadi tuntutan moral. Pemimpin pendidikan tidak lagi hanya dituntut untuk cerdas secara manajerial, tetapi juga bijak secara moral dan adaptif terhadap perubahan lingkungan.

Kepemimpinan yang hanya mengandalkan kekuasaan formal mulai kehilangan pengaruhnya. Masyarakat pendidikan hari ini, terutama generasi muda, lebih menghargai pemimpin yang jujur, terbuka, dan bersedia tumbuh bersama. Model kepemimpinan birokratis yang berlapis-lapis kini dinilai tidak efisien. Generasi milenial dan profesional muda yang hidup di lingkungan digital lebih senang bekerja dalam suasana yang cair dan kolaboratif. Mereka menghormati pemimpin yang memberi ruang bagi kreativitas, bukan yang membatasi ide dengan aturan kaku. Akibatnya, gaya kepemimpinan lama yang berorientasi pada formalitas dan kekuasaan perlahan ditinggalkan karena dianggap tidak relevan dengan tuntutan zaman.

Perubahan ini menandai lahirnya paradigma kepemimpinan transformasional dalam dunia pendidikan. Pemimpin tidak lagi hanya berperan sebagai pengendali arah, tetapi sebagai penggerak yang menginspirasi. Kepemimpinan transformasional memandang setiap guru dan tenaga kependidikan sebagai mitra strategis yang memiliki potensi untuk berkembang. Pemimpin bertugas menciptakan iklim yang menumbuhkan kepercayaan, mendorong refleksi, dan menyalakan semangat perubahan dari dalam diri anggota organisasi. Di sekolah, kepala sekolah yang menerapkan kepemimpinan transformasional lebih sering membangun dialog daripada memberi perintah, lebih banyak mendengar daripada mendikte, dan lebih fokus pada penciptaan budaya belajar yang hidup daripada sekadar memenuhi target administratif.

Namun, perubahan paradigma ini tidak selalu berjalan mulus. Di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, masih ditemukan pemimpin pendidikan yang terjebak dalam pola lama—menggunakan kekuasaan bukan untuk membimbing, tetapi untuk mengendalikan. Lebih memprihatinkan lagi, tidak sedikit di antara mereka yang mulai terlepas dari nilai etika dan profesionalitas, memilih untuk patuh pada kepentingan personal atau kelompok tertentu dibanding pada aturan dan prinsip moral yang seharusnya menjadi landasan kepemimpinan. Fenomena seperti ini menimbulkan krisis kepercayaan di lingkungan pendidikan. Guru yang berpikir kritis dan berintegritas sering kali menjadi pihak yang tersisih hanya karena tidak mau terlibat dalam politik kepentingan.

Era keterbukaan informasi sebenarnya menjadi cermin yang jujur bagi kepemimpinan. Di zaman ini, setiap kebijakan dan tindakan dapat dengan mudah diketahui publik. Keputusan yang tidak etis akan cepat tersebar melalui media sosial, dan reputasi pemimpin bisa runtuh hanya karena satu tindakan yang melanggar prinsip keadilan. Karena itu, kepemimpinan modern menuntut transparansi yang tinggi dan konsistensi antara ucapan dan tindakan. Kepemimpinan tidak lagi cukup hanya dengan kemampuan mengatur, tetapi harus disertai keteladanan moral dan empati sosial.

Dalam konteks dunia pendidikan Indonesia, kepemimpinan di era keterbukaan informasi menjadi sangat penting untuk membangun budaya belajar yang sehat. Pemimpin pendidikan perlu mengubah cara berpikir dari sekadar pengendali sistem menjadi penggerak perubahan. Mereka harus mampu menjembatani antara kebijakan pusat dan kebutuhan nyata di lapangan. Di sisi lain, mereka juga harus menjadi fasilitator bagi guru dan peserta didik untuk tumbuh sesuai potensi masing-masing.

Kepemimpinan yang efektif di masa kini adalah kepemimpinan yang menumbuhkan, bukan menekan; yang membuka ruang dialog, bukan menutup kritik; dan yang menegakkan etika di atas loyalitas personal. Dunia pendidikan tidak membutuhkan pemimpin yang hanya pandai berbicara di depan publik, melainkan pemimpin yang hadir di tengah perubahan, yang bekerja dengan hati, dan yang menyalakan semangat kemanusiaan di balik setiap kebijakan.

Pada akhirnya, kepemimpinan di dunia pendidikan bukan diukur dari seberapa besar kekuasaan yang dimiliki, tetapi seberapa besar dampak kebaikan yang ditinggalkan. Di era keterbukaan informasi, para pemimpin pendidikan ditantang untuk menunjukkan integritas, keteladanan, dan keberanian moral. Mereka bukan lagi penguasa di ruang tertutup, melainkan pelayan nilai dan kebenaran di tengah ruang publik yang terbuka. Hanya dengan paradigma semacam inilah dunia pendidikan dapat melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat dan bermoral luhur.

Referensi:

Tuesday, October 7, 2025

Aturan dan Etika: Pilar Keteraturan dan Keberadaban Sosial

Syaiful Rahman_Fas. Bela Negara

Dalam setiap tatanan kehidupan, baik individu, organisasi, maupun masyarakat, keberadaan aturan dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Aturan berfungsi sebagai pedoman perilaku yang bersifat normatif dan mengikat, sementara etika menjadi panduan moral yang menuntun seseorang dalam berinteraksi secara bijaksana dan beradab. Keduanya membentuk pondasi keteraturan sosial dan mencerminkan kualitas peradaban manusia.

Di tengah era disrupsi dan perubahan cepat seperti sekarang, memahami dan menegakkan aturan serta etika menjadi semakin urgen. Kemajuan teknologi, kebebasan berekspresi, dan dinamika sosial tanpa kendali sering kali menimbulkan kekacauan nilai dan degradasi moral. Oleh karena itu, belajar disiplin diri dalam menaati aturan dan memegang etika bukan sekadar kewajiban, melainkan kebutuhan fundamental bagi terciptanya harmoni sosial.

Aturan Sebagai Penjaga Keteraturan Sistem

Aturan dapat diartikan sebagai seperangkat ketentuan yang dibuat untuk mengatur perilaku individu atau kelompok dalam suatu sistem. Dalam perspektif sosiologi, aturan (rules) berfungsi menjaga stabilitas dan keteraturan sosial (social order).

Emile Durkheim (1893) dalam karyanya The Division of Labour in Society menegaskan bahwa tanpa aturan, masyarakat akan jatuh dalam kondisi anomie — keadaan tanpa norma yang menimbulkan kekacauan nilai dan perilaku. Aturan menjadi “lem perekat sosial” yang menjamin keteraturan dan kerja sama antarmanusia dalam masyarakat.

Dalam konteks pendidikan, aturan berperan sebagai pedoman perilaku yang mendukung proses belajar mengajar berjalan tertib dan produktif. Tata tertib sekolah, misalnya, mengatur waktu, tanggung jawab, serta perilaku siswa dan guru agar setiap individu memiliki batasan yang jelas antara kebebasan dan tanggung jawab.

Namun, keberadaan aturan tidak akan efektif tanpa adanya kesadaran etis. Aturan hanya memberi batasan eksternal, sedangkan etika menyentuh kesadaran batin dan nilai moral yang bersifat internal.

Etika Sebagai Rambu Interaksi Sosial

Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti kebiasaan, watak, atau cara hidup. Dalam filsafat, etika dipahami sebagai cabang ilmu yang mempelajari nilai-nilai moral yang mengatur perilaku manusia (Bertens, 2013). Bila aturan menuntun apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, maka etika mengajarkan bagaimana sesuatu dilakukan dengan tanggung jawab dan kebaikan.

Etika menjadi rambu dalam berinteraksi sosial agar kehidupan bersama berjalan harmonis. Tanpa etika, kepatuhan terhadap aturan bisa kehilangan makna. Misalnya, seseorang bisa menaati peraturan secara formal, tetapi jika tidak beretika—tidak menghargai orang lain, tidak jujur, atau tidak sopan—maka tetap melanggar nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam konteks profesi, misalnya guru, etika menjadi pedoman moral dan profesionalisme. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, salah satu kompetensi utama guru adalah kompetensi kepribadian dan sosial, yang mencerminkan kemampuan beretika, berakhlak mulia, dan menjadi teladan. Etika memperkuat kepercayaan publik terhadap profesi pendidik sebagai agen moral bangsa.

Disiplin Diri: Jembatan antara Aturan dan Etika

Disiplin diri adalah kemampuan untuk mengendalikan perilaku sesuai dengan nilai, aturan, dan norma yang berlaku. Albert Bandura (1991) dalam teori self-regulation menyebutkan bahwa disiplin diri mencerminkan kemampuan individu untuk menilai tindakan, mengatur emosi, serta bertindak berdasarkan standar moral pribadi.

Seseorang yang disiplin tidak hanya menaati aturan karena takut sanksi, melainkan karena kesadaran moral. Inilah yang menjadi jembatan antara aturan dan etika. Aturan membatasi perilaku dari luar (external control), sedangkan etika dan disiplin diri membentuk kendali dari dalam (internal control).

Contohnya, seseorang menaati peraturan lalu lintas bukan karena takut ditilang, melainkan karena sadar bahwa ketertiban jalan raya melindungi keselamatan bersama. Guru datang tepat waktu bukan karena diawasi kepala sekolah, tetapi karena tanggung jawab profesional dan moral terhadap peserta didik.

Disiplin diri adalah indikator kedewasaan moral — menjadi bukti bahwa aturan dan etika telah diinternalisasi dalam kesadaran individu.

Kajian Ilmiah dan Relevansinya di Era Kini

Kajian psikologi moral menegaskan pentingnya keseimbangan antara aturan eksternal (hukum dan norma sosial) dan aturan internal (moral dan etika pribadi). Lawrence Kohlberg (1981) dalam The Philosophy of Moral Development mengemukakan bahwa individu yang mencapai tahap perkembangan moral tertinggi bertindak berdasarkan prinsip universal keadilan, bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan.

Sementara itu, menurut Lickona (1991) dalam bukunya Educating for Character, pendidikan karakter yang baik selalu menanamkan tiga dimensi penting: moral knowing (pengetahuan moral), moral feeling (perasaan moral), dan moral action (tindakan moral). Ketiganya hanya dapat tumbuh jika individu memahami makna aturan, memiliki kesadaran etika, dan berlatih disiplin diri.

Dalam konteks pendidikan nasional, Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti juga menegaskan pentingnya pembiasaan nilai-nilai kejujuran, disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat sebagai wujud nyata penerapan aturan dan etika dalam kehidupan sekolah.

Dengan demikian, penerapan aturan tanpa pembinaan etika hanya akan melahirkan ketaatan semu, sedangkan etika tanpa aturan dapat berujung pada relativisme moral. Keduanya harus berjalan seimbang dalam membentuk manusia berkarakter.

Aturan dan etika adalah dua pilar utama dalam membangun keteraturan dan keberadaban sosial. Aturan menjaga sistem agar tertib, sedangkan etika menjaga moralitas agar manusia tetap beradab. Disiplin diri menjadi jembatan penghubung keduanya, karena hanya melalui kesadaran pribadi seseorang dapat benar-benar menaati aturan dengan keikhlasan dan tanggung jawab.

Di tengah derasnya arus perubahan dan kebebasan di era digital, manusia tidak cukup hanya cerdas intelektual, tetapi juga harus matang secara moral. Menegakkan aturan dengan beretika adalah tanda kematangan berfikir dan karakter yang beradab.

Maka, marilah kita mulai dari diri sendiri — belajar disiplin diri, memahami aturan, dan menegakkan etika dalam setiap langkah kehidupan. Dengan begitu, kita bukan hanya menjadi warga negara yang taat, tetapi juga manusia yang berkarakter dan bermartabat.

Daftar Pustaka

Pendidikan Karakter di Era VUCA: Menyeimbangkan Mindset, Skillset, dan Toolset

 

Oleh: Syaiful Rahman

“Kecerdasan tanpa karakter ibarat kapal tanpa kompas — cepat melaju, tapi tak tahu ke mana arah.”

🌍 Era VUCA dan Tantangan Pendidikan Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh banyak ahli disebut sebagai era VUCA — singkatan dari Volatility (perubahan cepat), Uncertainty (ketidakpastian), Complexity (kerumitan), dan Ambiguity (ketidakjelasan).

Dalam realitas seperti ini, dunia pendidikan menghadapi tantangan luar biasa. Bukan hanya soal bagaimana peserta didik menguasai teknologi, artificial intelligence (AI), atau coding, tetapi juga bagaimana mereka tetap memiliki kompas moral dan karakter yang kuat di tengah pusaran perubahan.

💡 AI dan Coding Penting, Tapi Bukan Segalanya

Tak dapat dipungkiri, penguasaan teknologi digital adalah kebutuhan mutlak abad ke-21. AI dan coding membuka peluang besar bagi masa depan. Namun, jika pendidikan hanya berfokus pada penguasaan alat (toolset), maka kita berisiko mencetak generasi yang cerdas secara digital tapi rapuh secara moral.

Teknologi hanyalah sarana. Tanpa nilai dan karakter, kecanggihan itu bisa kehilangan arah.

“Teknologi tanpa moral hanyalah mesin tanpa nurani.”

🧠 Mindset: Pondasi untuk Bertahan dan Tumbuh

Di tengah ketidakpastian, yang paling penting bukan hanya apa yang kita tahu, tapi bagaimana kita berpikir.
Peserta didik dan pendidik perlu menumbuhkan growth mindset — keyakinan bahwa kemampuan dapat berkembang melalui belajar, berusaha, dan refleksi.

Guru tidak lagi sekadar pengajar, tetapi juga pembelajar sepanjang hayat yang adaptif dan inspiratif.
Sementara peserta didik didorong untuk berani mencoba, tidak takut gagal, dan mampu menemukan makna dari setiap proses.

Mindset yang positif adalah bahan bakar utama di jalan panjang perubahan.

🛠️ Skillset: Mengasah Keterampilan Manusiawi

Di tengah kecanggihan teknologi, keterampilan yang paling dibutuhkan justru adalah keterampilan kemanusiaan (human skills) — komunikasi, kolaborasi, empati, kepemimpinan, dan berpikir kritis.

Pendidik juga harus terus memperkuat keterampilan ini. Bukan hanya mahir menggunakan aplikasi digital, tetapi mampu membangun hubungan, mengelola emosi, dan menumbuhkan semangat belajar di kelasnya.

Pendidikan karakter hadir sebagai jembatan: membentuk keterampilan yang berjiwa, bukan sekadar kompetensi teknis.

💻 Toolset: Menguasai Teknologi dengan Etika

Teknologi yang canggih tanpa nilai akan mudah menyesatkan. Karena itu, setiap inovasi harus dibingkai dengan tanggung jawab.

Pendidik dan peserta didik perlu memahami bahwa toolset hanyalah alat bantu, sementara arah penggunaannya ditentukan oleh nilai dan hati nurani.
Pendidikan karakter menjadi penjaga etika digital agar teknologi digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan menggantikannya.

❤️ Karakter: Kompas Moral di Tengah Ketidakpastian

Pendidikan karakter bukan tambahan, tetapi inti dari proses pendidikan. Ia menjadi penentu arah di tengah peta dunia yang berubah cepat.
Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kerja sama, kepedulian, dan cinta tanah air menjadi jangkar yang meneguhkan jati diri bangsa.

Guru berkarakter akan melahirkan murid berkarakter. Dan hanya dengan karakterlah, bangsa ini bisa tetap kokoh berdiri di tengah derasnya arus globalisasi.

“Kita tidak hanya butuh generasi yang bisa membuat robot, tapi generasi yang tahu kapan dan untuk apa robot itu digunakan.”

🏁 Seimbang dan Selaras

Era VUCA menuntut keseimbangan antara tiga hal penting:

  • Mindset — cara berpikir yang adaptif dan positif,

  • Skillset — keterampilan manusiawi yang kolaboratif dan kreatif,

  • Toolset — penguasaan teknologi yang bijak dan etis.

Ketiganya akan bermakna jika ditopang oleh pendidikan karakter.
Kita tidak hanya membangun kecerdasan otak, tetapi juga menumbuhkan kepekaan hati.
Sebab pada akhirnya, karakterlah yang menentukan arah, bukan sekadar kemampuan mengoperasikan teknologi.


🪶 Pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia — dengan ilmu, moral, dan hati.
#PendidikanKarakter #EraVUCA #MindsetSkillsetToolset #GuruBerkarakter #BelaNegara

Monday, October 6, 2025

Putar Haluan di Era VUCA: Cerdas dan Cerdik Berstrategi untuk Wujudkan Impian

Kita hidup di zaman yang tidak lagi berjalan lurus dan pasti. Dunia kini memasuki era yang disebut VUCAVolatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity — sebuah istilah yang menggambarkan betapa cepat, tidak pasti, rumit, dan ambigu perubahan yang terjadi. Di era ini, tidak ada jaminan bahwa strategi yang dulu berhasil akan tetap efektif hari ini. Perubahan menjadi keniscayaan, dan satu-satunya cara untuk bertahan adalah berani memutar haluan dengan cerdas dan cerdik.

Dalam situasi seperti ini, keteguhan bukan berarti keras kepala. Justru, orang yang tangguh adalah mereka yang mampu menyesuaikan arah tanpa kehilangan tujuan. Ketika angin perubahan bertiup kencang, mereka tidak melawan, tetapi mengubah arah layar agar tetap melaju menuju pelabuhan impian. Inilah seni hidup di era VUCA: bukan menolak perubahan, melainkan menari bersama perubahan dengan strategi yang tepat.

“Putar haluan” bukan tanda menyerah, tetapi bukti kecerdasan berpikir dan keluwesan bertindak. Orang bijak tahu kapan harus melangkah, kapan berhenti sejenak, dan kapan berbelok untuk menemukan jalur baru yang lebih menjanjikan. Karena dalam setiap perubahan, selalu ada peluang yang tersembunyi, peluang yang hanya terlihat oleh mereka yang berpikir jernih dan bermental pembelajar.

Kita harus berani meninggalkan pola lama yang tidak lagi relevan. Dunia baru menuntut cara pandang baru, strategi baru, dan keberanian baru. Cerdas berarti mampu membaca situasi dengan tajam; cerdik berarti mampu bertindak tepat dalam keterbatasan. Dua hal ini menjadi kompas utama untuk menavigasi masa depan yang tak pasti.

Dalam menghadapi ketidakpastian, visi dan mimpi besar menjadi jangkar kehidupan. Sebab, yang menguatkan seseorang bukanlah kepastian situasi, melainkan keyakinan akan makna dari setiap langkahnya. Impian adalah bahan bakar yang membuat kita tetap bergerak, meski arah harus berkali-kali disesuaikan.

Era VUCA mengajarkan bahwa kesiapan mental lebih penting daripada kepastian rencana. Yang dibutuhkan bukan hanya kecerdasan intelektual, tetapi juga keluwesan emosional, ketangguhan moral, dan keberanian mengambil risiko. Orang yang sukses di masa depan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling adaptif dan inovatif.

Maka, ketika arah angin berubah — jangan panik, putar haluan. Evaluasi strategi, pelajari situasi, lalu bertindak dengan visi dan nurani. Jadikan setiap perubahan sebagai ruang pembelajaran, bukan alasan untuk berhenti. Karena sesungguhnya, dalam badai ketidakpastianlah karakter sejati dan kualitas kepemimpinan kita diuji.

Impian tidak akan pudar hanya karena jalan berubah. Dengan strategi yang cerdas, hati yang sabar, dan pikiran yang terbuka, setiap tantangan di era VUCA bisa menjadi batu loncatan menuju versi terbaik diri dan masa depan yang lebih bermakna.

#EraVUCA #StrategiCerdas #PutarHaluan #AdaptifDanInovatif #WujudkanImpian #BerpikirFleksibel #PemimpinPembelajar #TangguhMenghadapiPerubahan

Sunday, October 5, 2025

Hari Guru Sedunia: Refleksi untuk Pendidikan Dunia yang Berempati dan Berkeadilan

Syaiful Rahman_Fas Lingkar Belajar Guru EI

Setiap tanggal 5 Oktober, dunia memperingati Hari Guru Sedunia (World Teachers’ Day) — sebuah momen yang telah dirayakan sejak tahun 1994. Peringatan ini diprakarsai oleh UNESCO bersama Education International (EI) sebagai wujud penghormatan atas peran vital guru dalam membangun peradaban dan meneguhkan masa depan umat manusia.

Tujuan utama diperingatinya Hari Guru Sedunia adalah untuk memberikan dukungan kepada para guru di seluruh dunia dan meyakinkan dunia bahwa keberlangsungan generasi masa depan ditentukan oleh guru. Melalui dedikasi, kesabaran, dan pengabdian tanpa batas, guru menjadi pelita yang menuntun manusia keluar dari kegelapan kebodohan menuju terang pengetahuan.

Menurut UNESCO, Hari Guru Sedunia mewakili kepedulian, pemahaman, dan apresiasi terhadap peran guru yang tidak tergantikan — bukan hanya sebagai pengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga pembangun karakter dan generasi yang beradab. Guru tidak sekadar mengajarkan rumus, teori, dan konsep, melainkan menanamkan nilai empati, cinta kasih, dan keadilan dalam diri setiap peserta didik.

Sementara itu, Education International (EI) — federasi global yang menaungi profesi pengajar di lebih dari 100 negara dengan 401 organisasi anggota — terus memperjuangkan agar Hari Guru Sedunia dikenal dan dirayakan di seluruh dunia. EI menegaskan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip Rekomendasi UNESCO/ILO tahun 1966 dan 1997 yang menekankan pada penghormatan, kesejahteraan, dan perlindungan hak-hak guru sebagai pilar utama pendidikan.

Lebih dari seratus negara di dunia kini memperingati Hari Guru Sedunia setiap tahunnya. Melalui kampanye kesadaran global, EI dan UNESCO berupaya menegaskan bahwa profesi guru adalah kekuatan utama dalam membentuk arah peradaban manusia.

Namun, di balik perayaan ini, tersimpan refleksi mendalam tentang arah pendidikan dunia. Di tengah kemajuan teknologi, perubahan sosial, dan tantangan global, kita diingatkan bahwa kemajuan sejati tidak hanya diukur dari kemampuan berpikir kritis, tetapi juga dari kemampuan berempati dan menghargai kemanusiaan. Guru menjadi sosok penjaga keseimbangan antara kecerdasan dan kebijaksanaan, antara logika dan nurani.

Pendidikan yang berkeadilan adalah pendidikan yang memberi kesetaraan kesempatan belajar bagi setiap anak di penjuru dunia, tanpa memandang latar belakang, status sosial, atau kondisi ekonomi. Dalam konteks ini, guru hadir sebagai agen kemanusiaan — memastikan setiap anak memiliki hak untuk bermimpi dan mewujudkan potensinya.

Hari Guru Sedunia menjadi ajakan bagi kita semua untuk mengembalikan pendidikan kepada ruhnya yang sejati: membangun manusia seutuhnya. Guru harus terus diberdayakan, dihormati, dan didukung agar dapat melaksanakan tugasnya dengan penuh martabat dan semangat kemanusiaan.

Mari kita rayakan Hari Guru Sedunia dengan refleksi dan aksi nyata. Menumbuhkan kembali kesadaran bahwa setiap keberhasilan bangsa, setiap langkah kemajuan teknologi, dan setiap capaian ilmu pengetahuan bermula dari sentuhan lembut seorang guru.

Karena sejatinya, masa depan dunia terlukis dari tangan dan hati para guru — para penjaga peradaban yang menyalakan api pengetahuan, menumbuhkan empati, dan menjaga harapan bagi generasi yang akan datang.


Sumber gambar : https://rri.co.id/

#HariGuruSedunia #WorldTeachersDay #UNESCO #EducationInternational #GuruUntukPeradaban #PendidikanBerkeadilan #EmpatiDalamPendidikan #KesetaraanBelajar #GuruMembangunBangsa

Saturday, October 4, 2025

Menggelorakan Semangat Bela Negara: Saatnya Seluruh Anak Negeri Berdiri untuk Tanah Air

Bangsa yang besar tidak lahir dari kemewahan, tetapi dari kekuatan jiwa rakyatnya — dari semangat yang tak pernah padam untuk mempertahankan dan memajukan negeri. Hari ini, ketika kita memperingati 80 tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI), kita diingatkan kembali bahwa semangat bela negara bukan milik TNI semata, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia — dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote.

Bela negara bukan hanya soal angkat senjata, tetapi menjaga keutuhan bangsa dengan pikiran, tindakan, dan hati nurani.

Di tengah derasnya arus globalisasi, derasnya arus informasi, dan derasnya tantangan moral generasi muda, bela negara berarti menjaga jati diri bangsa, menegakkan nilai-nilai Pancasila, dan menghidupkan semangat gotong royong yang menjadi akar budaya Indonesia.

Kita tidak bisa menunggu orang lain untuk menjaga negeri ini.

Kitalah — anak muda yang berinovasi, para guru yang mencerdaskan bangsa, petani yang menumbuhkan kehidupan, nelayan yang menaklukkan ombak demi rezeki halal, pekerja dan buruh yang menggerakkan roda ekonomi, wirausaha yang membangun kemandirian bangsa, seniman yang menumbuhkan jiwa kebudayaan, tokoh agama yang menuntun akhlak dan kedamaian, aparatur negara yang menjaga integritas dan pelayanan, tenaga kesehatan yang berjuang demi nyawa, peneliti dan akademisi yang menyalakan cahaya ilmu, ibu rumah tangga yang menanamkan nilai luhur dalam keluarga, pelajar dan mahasiswa yang menyiapkan masa depan, hingga para veteran dan purnawirawan yang tetap setia menjaga semangat juang.

Kita semua — setiap warga Indonesia tanpa kecuali — adalah penjaga negeri ini.

Setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan kejujuran, semangat, dan cinta tanah air adalah bagian dari bela negara.

Menjaga persatuan dalam keberagaman, menghormati simbol negara, menggunakan produk dalam negeri, menolak provokasi dan hoaks, serta melawan kemalasan, kebodohan, dan korupsi — semuanya adalah bentuk nyata dari bela negara di era kini.

Bangkitlah, wahai seluruh anak negeri

Tanah ini diwariskan oleh darah dan air mata para pejuang. Jangan biarkan semangat itu padam hanya karena kita lalai dan acuh. Jadikan setiap napasmu sebagai janji untuk berbuat terbaik bagi negeri.

Saat kita bekerja dengan sepenuh hati, saat kita menuntut ilmu dengan tekun, saat kita menebar kebaikan dan menolak perpecahan — di situlah nilai bela negara menemukan makna sejatinya.

Mari kita teguhkan komitmen bersama

Bahwa Indonesia adalah rumah kita bersama, dan tidak ada rumah yang lebih indah selain tanah air sendiri.

Kita jaga, kita rawat, dan kita perjuangkan dengan sepenuh cinta, agar merah putih tetap berkibar dengan gagah di langit nusantara.

Jayalah TNI, Jayalah rakyat Indonesia

Karena sejatinya, TNI dan rakyat adalah satu tubuh, satu semangat, dan satu tekad — untuk Indonesia jaya, berdaulat, dan bermartabat! 🇮🇩🔥

#BelaNegara #SemangatNasionalisme #HUTTNI80 #UntukIndonesiaTangguh #JayalahIndonesia #NKRIHargaMati #TNIkuHebat #BanggaTanahAir

Melangkah dengan Hati: Do the Best, Jangan Menyerah, dan Rela Berkorban

Kehidupan adalah perjalanan panjang yang penuh dinamika. Ada saat kita merasa mudah melangkah, tetapi ada pula masa ketika jalan terasa terjal dan penuh rintangan. Dalam menghadapi dinamika itulah setiap manusia membutuhkan prinsip hidup yang kokoh, agar tetap mampu berdiri tegak dan melangkah maju. Tiga prinsip yang relevan untuk dihayati adalah: melakukan yang terbaik (Do the Best), pantang menyerah, serta menjalani dengan ikhlas dan rela berkorban.

1. Do the Best – Lakukan yang Terbaik

Prinsip “Do the Best” mengajarkan kita untuk selalu memberikan usaha maksimal dalam setiap peran dan tanggung jawab. Hidup bukan tentang menjadi sempurna, melainkan berusaha sungguh-sungguh sesuai kemampuan terbaik kita.

Dalam pekerjaan, belajar, maupun kehidupan sosial, melakukan yang terbaik berarti menempatkan kualitas dan tanggung jawab di atas kepentingan sesaat. Kita tidak bisa mengendalikan hasil sepenuhnya, tetapi kita bisa memastikan proses yang kita jalani adalah usaha terbaik yang kita mampu. Dengan prinsip ini, hidup kita akan lebih bermakna karena setiap langkah menjadi wujud kesungguhan dan dedikasi.

2. Pantang Menyerah dalam Halangan dan Rintangan

Setiap perjalanan pasti ada ujiannya. Rintangan hadir bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguji keteguhan hati. Prinsip pantang menyerah menanamkan keyakinan bahwa kegagalan hanyalah bagian dari proses menuju keberhasilan.

Orang yang pantang menyerah akan menjadikan masalah sebagai pelajaran, bukan alasan untuk berhenti. Ia akan terus mencari cara, menggali potensi, dan memperluas pandangan demi meraih tujuan. Sejarah bangsa dan kehidupan para tokoh besar membuktikan bahwa keberhasilan besar selalu lahir dari perjuangan panjang yang penuh jatuh bangun.

3. Ikhlas dan Rela Berkorban

Hidup tanpa keikhlasan hanya akan melelahkan. Prinsip ikhlas mengajarkan kita untuk menerima segala hasil dari usaha dengan lapang dada, baik yang sesuai harapan maupun tidak. Ikhlas berarti melepas ego, menyandarkan hasil pada ketentuan Tuhan, dan tetap berbuat baik tanpa pamrih.

Lebih dari itu, kehidupan juga menuntut sikap rela berkorban. Pengorbanan tidak selalu berbentuk materi, melainkan bisa berupa waktu, tenaga, perhatian, atau kesempatan demi kepentingan orang lain dan kebaikan bersama. Dengan rela berkorban, kita belajar menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Inilah yang menjadikan hidup kita lebih bernilai, karena setiap tindakan membawa dampak positif bagi orang lain.

Ketiga prinsip ini saling melengkapi: melakukan yang terbaik memberi arah pada usaha, pantang menyerah memberi kekuatan dalam perjalanan, dan ikhlas rela berkorban memberi makna sejati pada setiap langkah.

Jika hidup dijalani dengan kesungguhan, keteguhan, dan keikhlasan, maka apapun hasilnya akan menjadi keberkahan. Hidup bukan sekadar tentang apa yang kita dapatkan, melainkan tentang seberapa besar manfaat yang bisa kita berikan.

Karena sejatinya, manusia yang hidup dengan prinsip ini akan dikenang bukan karena apa yang ia miliki, tetapi karena apa yang ia perjuangkan dan ia berikan untuk orang lain

Urgensi Servant Leadership di Era Ketidakpastian: Ketika Kepercayaan Menjadi Mata Uang Kepemimpinan

Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, pembahasan mengenai trust dalam kepemimpinan terus mengemuka. Tidak hanya di ranah pemerintah...